Mellyku - Cantrik.COM

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, March 19, 2012

Mellyku


Putus!! putus!!
Kenapa kau putuskan aku di saat aku membutuhkanmu, di saat aku merasa nyaman denganmu, dan di saat  banyak orang di sekelilingku yang juga mulai menerima kehadiranmu. Aku sangat merasa terlindungi dengan kehadiranmu. Ah…. Tapi nyatanya cintamu tak tahan lama. Mungkinkah harus kuberikan boraks dalam tubuhmu sehingga cintamu padaku awet? Tidak…tidak mungkin aku memaksamu seperti itu.
Ya ampun, mengapa aku jadi gila seperti ini. Melly please, jangan kau permalukan aku. Jangan kau tinggalkan aku saat aku butuh. Sadarlah,,,, jangan kau buat aku tak berdaya seperti ini……
Aku kehilangan kendali. Kulempar dia jauh-jauh. Walaupun berat hatiku untuk menerima takdir ini, aku sudah siap mendapat malu. Dari siapa pun yang hendak mempermalukan aku. Tapi …. Apa urusan mereka? Mereka tak punya urusan apa-apa denganku. Sepanjang jalan aku menunduk. Menutupi kedukaanku. Menutupi segala kebodohanku yang telah memilih cintanya yang palsu.
Oh… ada sesuatu yang terlewat. Ibu memintaku untuk berkunjung ke salah satu familiku. Buah tangan sudah kudapatkan. Semua pesanan sudah ada di tangan. Namun, apa harus sekarang? Apa tidak ada waktu lain?
“Ibu, sekarang aku masih di jalan. Bisakah rencana ke tempat Bu Tomo diundur nanti sore?” aku mencoba melobi ibu supaya rencana mengantar pesanan bisa sore nanti.
“Tidak bisa. Kue itu harus sampai pagi ini juga.” dari sebrang sana ibu memutuskan harapanku.
“Tapi…” aku mecoba merintih.
“Tidak ada tapi, pagi ini harus sampai di sana.”
“Bu, adakah jalan lain?” aku mengiba.
“Tidak, apakah kamu mau menjadi biang kehancuran pesta pernikahan saudaramu sendiri?” emosi ibu meninggi.
“Tidak, Bu… tidak… aku tidak mau seperti itu.” Aku menangisi nasibku hari ini. Dalam hati aku ingin menjerit  sekeras-kerasnya supaya ibu dengar rintihan hatiku.
“Ya sudah, silakan kamu yang mengambil jalanmu sendiri.” Setelah berkata seperti itu, ibu menutup telponku. Sakit hati ini. Ibarat kaca, hatiku sudah benar-benar hancur berkeping-keping. Tak ada cara lain selain aku nekad dengan jalanku sendiri. Aku tak mau tahu, apa kata orang nantinya dengan keadaanku ini. Biarlah mereka berkata apa yang penting aku tidak seperti yang mereka pikirkan.
Perlahan tapi pasti kumantapkan langkahku menuju rumah familiku. Letaknya di daerah perumahan elit. Maklum, familiku seorang pejabat teras yang terpandang di kotaku. Keluarga mereka sangat baik semua pada keluargaku. Aku tidak bisa membalas budi baik mereka karena aku tidak punya apa-apa. Ya hanya dengan mengantar kue pesanan inilah yang bisa aku lakukan. Ibuku seorang pedagang kue tradisional di pasar. Itu juga berkat bantuan Pak Tomo, familiku. Pak Tomo memberi modal yang lumayan banyak menurutku. Satu juta. Bilangan satu juta tak cukup dihitung dengan jari. Mungkin kalau ditulis pada kertas ada enam huruf O. Ah bukan, itu bukan huruf O tapi angka 0. Ya… mungkin angka 0 itu ada enam. Aku juga belum pernah menghitungnya. Namun, aku pernah melihat ibu memegang uang ratusan ribu ada sepuluh. Mungkin kalau dijumlahkan ada satu juta. Entahlah…..
Dua puluh meter lagi sampai di tempat tujuan. Aku ragu. Apakah aku harus meneruskan langkahku? Apa kata orang-orang yang melihatku? Selalu saja muncul pertanyaan itu di kepalaku. Aku bisa benar-benar gila kalau seperti ini.
Terlihat hilir mudik tamu keluar masuk dari kediaman Pak Tomo. Aku melihat bayangan hitam mendekatiku. Seorang wanita. Wanita itu membentakku dengan keras.
“Marti!! Apa apaan kamu ini? Apakah kamu ingin mempermalukan keluarga Pak Tomo dengan cara seperti ini?” Bulik Mur memarahiku. Bulik Mur atau lengkapnya bulik Murtini ini adik dari ayahku. Oleh karena itu, aku memanggilnya bulik. Bulik Mur ini tak pernah cocok dengan keluargaku. Selalu saja kami dianggap rendah. Aku sudah sering dimarahi olehnya.
“Tidak Bulik, tidak…” aku menunduk dan ketakutan dengan tatapan bulik Mur.
“Lalu… caramu berpakaian, keadaanmu yang tidak menggunakan alas kaki, dan….. ah rupamu yang kotor tengil seperti gelandangan itu apa tidak menunjukkan bahwa kamu ingin membubarkan pesta keluarga Pak Tomo, hah….?” ucapan Bulik Mur ini sangat menyakitiki hatiku. Walaupun rupaku seperti ini, aku bukan gelandangan. Aku masih punya ayah ibu. Aku juga seorang yang terpelajar.
“Bulik, maafkan aku. Ini hanya kecelakaan kecil.” aku mengiba.
“Kau anggap ini kecelakaan kecil. Benar-benar gila kamu ya….!!!!”
“Terserah Bulik mau berkata apa, aku hanya ingin mengantarkan ini pada Bu Tomo.” Aku menunjukkan plastik hitam yang kupegang sejak tadi.
“Apa isinya?”
“Aku tidak mau memberitahu Bulik karena ini bukan untuk Bulik.”
“Oh,,, jadi begitu ya cara kamu.”
“Maaf Bulik, sebaiknya sesuatu yang bukan urusan Bulik jangan lah Bulik ikut campur.” Aku membela diri. Memang Bulik Mur ini suka sekali mencampuri urusan orang lain. Aku kurang suka dengan perangainya.
Tiba-tiba saja muncul Mbak Novi. Mbak Novi ini anaknya Pak Tomo, calon manten yang akan diijabkan esok pagi.
“Lho Mar, ada apa denganmu?” ah kaya lagu Peterpan aja. Mbak Novi memandangku dengan penuh belas kasih. Tidak seperti bulik Mur yang selalu tampak galak.
“Ah, tidak apa apa mbak.”
“Ayo masuk ke rumah.” Mbak Novi menuntunku masuk rumah melewati pintu dapur dan Bulik Mur sepertinya tampak sewot diabaikan begitu saja.
“Mbak, aku malu masuk rumah dengan keadaan seperti ini.”
“Nggak papa, Mar. Nanti gantilah dengan pakaianku. Lagian banyak sekali pakaian yang masih bagus tapi sudah tidak aku pakai lagi. Kamu bisa memilihnya.” Mbak Novi baik sekali. Kadang aku suka iri padanya. Sudah lemah lembut, baik hati, cerdas, anak orang kaya pula. Hemm…. Aku cuma bisa bermimpi.
“Mbak, apa tidak terlalu berlebihan seperti ini?”
Mbak Novi geleng kepala, “Tidak, Mar. Kamu saudaraku, jadi sudah sepantasnya aku memperlakukan kamu seperti ini.”
“Terima kasih, Mbak”
“Iya. Oya ngomong-ngomong kenapa kamu bisa seperti ini?”
“Begini mbak, tadi pagi saya disuruh ibu pergi ke pasar untuk membeli oleh-oleh ini. Ibu hanya berpesan agar segera menyampaikan pesanan Bu Tomo dan oleh-oleh ini. Tapi…. “
“Tapi kenapa?”
“Ketika di pasar sandalku putus. Sementara keadaan pasar sangat becek karena diguyur hujan semalaman. Terpaksa aku membuang kedua sandalku. Dan terpaksa pula aku bertelanjang kaki seperti ini. Maafkan aku mbak sudah membuat malu keluarga.” Aku menunduk menyesali keadaanku.
“Sudah… sudah…. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kamu mau di belakang ada beberapa sandal yang sudah tidak dipakai. Kamu bisa memilih salah satu.”
“Beneran Mbak?” aku meyakinkan.
“Iya, ambil saja.”
Tak menunggu lama aku segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan oleh mbak Novi. Benar. Ada banyak sekali sandal yang masih bagus yang kelihatannya sudah kekecilan kalau dipakai mbak Novi. Terang saja, mbak Novi sudah dewasa sementara sandal yang masih ada itu cocok untuk ukuran anak SMP sepertiku. Aku senang sekali bisa memilih sandal yang aku suka. Setelah menentukan salah satu, aku menemui mbak Novi lagi.
“Mbak, aku ngambil yang ini ya?” aku menunjukkan sandal Carvil warna merah jambu, persis seperti yang aku impikan selama ini.
“Ya, ambil saja.”
“Asyik, terima kasih.”
Akhirnya aku memiliki sandal baru. Walaupun bekas, sandal ini masih kokoh dan terlihat bagus. Aku senang sekali. Melly…. Maafkan aku. Aku ingin membuangmu jauh-jauh dari kehidupanku. Cintamu palsu. Janjimu juga palsu. Aku tidak mau mengingatmu lagi. Sekarang aku sudah punya cinta yang baru. Carvil merah jambu.
SELESAI.


No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here