Undangan Merah Maroon - Cantrik.COM

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 10 Juni 2012

Undangan Merah Maroon

“Sudah pulang Wik?” tanya Hesti yang sedang duduk di depan monitor.
“Iya Mbak,” jawab Wika ketika melewati depan kamar Hesti.
“Ada undangan, aku selipkan di bawah pintu.” kata Hesti lagi.
“Dari siapa mbak?” tanya Wika.
“Emm… ga tau, tadi ada cewek sama cowok kesini nyariin kamu.”
“Lantas?”
“Aku bilang kamu lagi kuliah.”
“Terus?”
“Dia tanya kapan kamu pulang kuliah? Aku bilang ga tentu.”
“Kemudian?”
“Hemm….kemudian dia ngasih undangan itu.”
“Ya… thanks ya mbak,” Wika menuju kamar kosnya.
Perlahan Wika membuka kamar. Diambilnya undangan itu dari lantai. Undangan merah maroon itu ditujukan pada Wika Cantika. Plastik undangan dibuka perlahan. Sekilas dia membaca inisial di undangan yang bertuliskan R & I menggunakan tipe tulisan Algerian dan bertinta emas. Hati Wika berdebar tak karuan. Tiba-tiba dia merasa lemas tak berdaya melihat foto yang terpampang di undangan itu. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Semua terlihat serba hitam dan gelap. Wika pingsan.
Selang tak berapa lama, Hesti mengetuk pintu kamar Wika. Tak ada sahutan dari dalam. Hesti mencoba membuka pintu. Ternyata pintu tidak terkunci. Hesti terkejut melihat Wika tergeletak di lantai. Undangan merah maroon itu masih ada pada genggamannya. Hesti mencoba membangunkan Wika. Berulangkali Hesti memanggil, Wika tak sadar juga.
Hesti mencari bantuan teman-temannya yang lain. Semua kamar kos masih kosong. Terang saja semua kosong karena saat itu baru jam sebelas siang. Penghuni kos lain masih berakifitas dengan rutinitasnya sebagai mahasiswa. Hesti meminta bantuan ibu kos. Ibu kos segera menuju kamar Wika. Ibu kos mengusap pintu hidung Wika dengan minyak kayu putih. Kaki Wika dipijat-pijat. Tidak lama kemudian, Wika tersadar. Ibu kos memberi Wika air minum.
“Diminum dulu!” kata ibu kos.
“Terima kasih.” sahut Wika. Wika masih tampak pucat. Air matanya kembali berderai.
“Ada apa Wik?” tanya Hesti.
“Hiks…hiks…hikss…..” Wika masih menangis.
“Ya sudah, kamu istrirahat dulu ya. Ibu mau melanjutkan memasak.” kata ibu kos. Beliau kemudian pergi meninggalkan kamar Wika.
“Soal undangan itu?” tanya Hesti.
“Iya.” Wika mengangguk. “Mas Restu mau menikah.” lanjut Wika.
“Emmm… Mas Restu yang kamu bilang mantan pacarmu itu?”
Sekali lagi Wika mengangguk.
“Sudahlah Wik jangan ditangisi. Dia sudah jadi milik orang lain. Lagian kamu juga pernah bilang ga ada kecocokan dengannya.”
“Bukan ga ada kecocokan mbak, tapi kami perlu intropeksi….” suara Wika terputus-putus.
“Ya sudah itu sudah menjadi keputusan kalian to?”
“Mbak, sebenarnya aku masih sayang dia.” Wika memeluk bantal kesayangannya. Dia terlihat menerawang jauh. Pandangannya kosong. Dalam angannya terlihat jelas kenangan-kenangan bersama Restu. Restu Al-Ma’arif adalah pacar pertamanya. Mereka berpacaran kurang lebih sudah berjalan 4 tahun. Sejak kelas dua SMA sampai kuliah di semester empat ini perjalanan cinta mereka berjalan mulus. Namun, kesibukan masing-masing membuat komunikasi mereka tidak lancar. Wika yang kuliah di Yogyakarta dan Restu yang kuliah di Bandung jarang sekali berjumpa. Tidak tentu sebulan sekali mereka bisa menghabiskan waktu untuk berdua. Akibatnya, hubungan percintaan mereka retak. Mereka bersepakat untuk instropeksi diri dan untuk sementara waktu mereka fokuskan pada pendidikan.
“Dik, sampai kapan kita begini. Adik jarang memberi kabar. Setiap mas mau menemui adik di Jogja adik selalu melarang.” ucap Restu saat percakapan di telepon.
“Mas, adik lagi banyak tugas kuliah. Kegiatan sanggar juga banyak. Maaf mas… kalau mau main ke Jogja lain kali aja ya!” sahut Wika.
“Selalu begitu…” gerutu Restu.
“Lalu… maunya Mas apa?” tanya Wika dengan nada sedikit lebih tinggi.
“Adik kok gitu sih?”
“Emas sih…. Ya udah lah, sementara kita selesaikan dulu kuliah kita. Mohon mas juga instropeksi diri. Apa yang mas lakukan ketika adik membutuhkan mas.”
“Jangan mengungkit-ungkit masalah itu lagi Dik. Dulu itu mas kan juga kuliah sambil kerja.”
“Ah…alasan.” telepon terputus.
Wika menangis. Setiap kali telepon berdering, Wika tidak mengangkatnya. Hingga deringan yang kesepuluh, Wika tetap tak mau mengangkat. Akhirnya HP nya dinonaktifkan. Wika tak tahu harus berbuat apa. Dia terlanjur kecewa dengan Restu. Setiap kali Wika membutuhkan Restu, Restu tak pernah punya waktu untuknya.
Kini hanya penyesalan yang menghinggapi diri Wika. Emosi sesaat itu menguasai mata hatinya hingga tak sadar dia berkelakuan selayaknya anak kecil. Anak kecil yang mudah tersulut amarah dan cengeng ketika mendapatkan rasa sakit. Marah bukan lah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Perlu pendewasaan diri pada pribadi Wika. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur.
“Kring…kring…” ada panggilan masuk di HP Wika. Hesti mengambilkan HP dari dalam tas Wika.
“Siapa?” tanya Wika sesaat tersadar dari lamunannya. Hesti menggelengkan kepala.
“Hallo…” sapa seseorang dari sebrang sana. Suara seorang perempuan. “Nak Wika ya?” tanya orang itu lagi.
“Hallo… iya, maaf ini siapa?” sahut Wika.
“Nak, ini ibu.” Deg. Jantung Wika berdebar kencang. Sepertinya dia mengenal suara itu.
“Hallo… ibu, apa kabar?” tanya Wika.
“Alhamdulillah baik, Nak. Tanggal 19 Juli besok mas mu mau menikah. Ibu mohon kamu bisa hadir di pernikahannya itu.” Wika tak bisa mengucap apa-apa. Mulutnya tiba-tiba terkunci. Air mata yang ia keluarkan belum lah kering. Kini ibunya Restu menelepon memberi tahu tanggal pernihakan Restu sekaligus meminta Wika untuk datang. Hati Wika semakin teriris-iris. Airnya matanya keluar lagi.
“Hallo… Wika…. Hallo…” sahut ibunya Restu.
“Iii…iiya…Bu, saya akan datang. Pasti akan datang.” jawab Wika terputus-putus.
“Baik lah Nak. Ibu sudahi percakapan ini. Assalamu’alaikum.” telepon ditutup.
Wika menangis sejadi-jadinya. Rasanya baru kemarin dia tidak berkomunikasi dengan Restu dan keluarganya. Ternyata sudah lebih dari 1 tahun. Sudah ada yang menggantikan posisinya di hati Restu. Ahghghghhh… Wika berteriak. Hesti mencoba menenangkan.
Tepat di hari pernikahan Restu dengan Indah, Wika datang membawa sebuah bingkisan. Wika tidak datang sendiri. Ia ditemani seorang laki-laki yang bernama Satrio. Satrio ini teman sekampusnya. Satrio ini sebagai bak sampah yang setiap hari jadi teman curhat Wika.
Di hadapan teman-temannya yang hadir, Wika mencoba mengembangkan senyumnya. Walaupun sebenarnya pahit yang ia rasakan, Wika mencoba tetap tegar. Ia mencoba menggenggam erat tangan Satrio.
Tiba saatnya memberikan selamat pada kedua mempelai, Wika ikut dalam barisan teman-temannya yang lain. Satrio berada di depannya.
“Selamat ya Mas. Kamu sudah menemukan pasangan hidupmu. Semoga bahagia.” ucap Wika sambil membendung air matanya.
“Terima kasih Dik. Kamu mau datang.” sahut Restu. Wika pun berlalu dari pandangan Restu.
Malam harinya Restu membuka semua bungkus kado. Salah satu di antara bungkus kado itu, ada kado yang ukurannya sangat mungil. Restu meraih kado itu. Perlahan dia buka bungkusnya. Dia mengamati kotak kecil isi dari bungkusan itu. Sepertinya dia mengenal kotak kecil itu. Sekilas terbayang wajah Wika ketika tersenyum menerima hadiah dari Restu di hari ulang tahunnya yang ke 18. Di pantai Parangtritis di waktu sore hari. Berlatarkan matahari yang mulai tenggelam, Restu berkata pada Wika “Say… I Love U. Jaga cinta kita. Dengan cincin ini, kamu dan aku adalah satu.”
Kotak kecil itu di buka. Cincin bermata biru itu diamatinya. Masih terlihat jelas ukiran di dalam cincin itu. Tulisan Res&Ka masih tampak jelas. Restu memejamkan mata. Dia merasa telah mengkhianati cinta Wika. Restu merasa bersalah dengan keputusannya menikahi orang lain. Dilihat jari manisnya. Cincin yang sama juga masih melingkar di jarinya itu. TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here